Paralel
Malam itu, Jaka memutuskan untuk jalan-jalan di taman dekat kantornya. Dengan alasan ‘mencari udara segar’ yang ia berikan pada rekan-rekan kerjanya, ia berniat untuk beristirahat sejenak. Kepalanya pusing bukan main. Denyut di otaknya bagaikan sekumpulan anak usia lima yang berlari-lari di lapangan.
Meski begitu, bukannya Jaka membenci pekerjaannya. Ia adalah seorang ilmuwan yang cukup tersohor karena berhasil menciptakan alat-alat yang berguna untuk sekitarnya. Berkat pekerjaan itu, dia memiliki uang yang berlimpah, rumah yang besar, dan masih banyak lagi kemewahan yang ia dapatkan.
Jaka bisa mencapai titik ini bukan hanya dengan diam saja. Ia berjuang sangat keras di hari-hari sekolahnya. Ia belajar tiap harinya. Ia juga mengikuti bimbingan pelajaran sejak masih dini. Karena itulah sekarang ia bisa berada di sini sekarang. Mengingat semua hal itu, Jaka menghela nafas lega, kemudian melanjutkan jalan-jalannya sebelum melihat sosok yang berjalan di depannya. Sosok yang tidak pernah ia bayangkan akan bertemu dengannya lagi.
“Ari…?”
“Lho, kamu kan Jaka!”
Lelaki yang dipanggil Ari itu juga mengenali Jaka. Di masa SMA, daripada disebut ‘teman baik’, mereka lebih cocok dipanggil ‘saingan’. Jaka dan Ari sering bersaing mendapatkan nilai yang lebih baik dalam pelajaran, terutama IPA.
Mereka pun berjabat tangan, “Wah, sudah lama sekali nggak bertemu! Kau kelihatan sehat!”
“Ah, kau sendiri juga. Agak gemuk malah.”
Singgungan Jaka terhadap berat badan Ari ditanggapinya dengan tawa. Memang sosoknya agak lebih gemuk, tapi dari tawanya Jaka yakin orang yang di depannya ini adalah Ari yang sama dengan dulu.
Jaka melirik ke bangku yang terletak agak jauh di belakang mereka. Ia dan Ari pun memutuskan untuk duduk di sana.
“Terakhir bertemu… Kapan ya? Kau tidak pernah ikut reuni sih…”
“Seingatku pertemuan terakhir kita ya beberapa hari setelah kelulusan,” ujar Jaka santai.
Alis Ari melengkung, dan matanya sedikit melotot seraya menatap Jaka, “Serius? Kelulusan… berarti lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Itu lama sekali!”
“Ya…” Jaka menanggapi dengan senyum
Jaka menatap wajah Ari yang masih tersenyum-senyum sendiri. Lelaki ini adalah sainganku, pikirnya, menghilang ke mana saja kau!?
“Kenapa, Jaka? Ada sesuatu di wajahku?”
Pertanyaan Ari menyadarkan Jaka dari lamunannya. Jaka menggelengkan kepala, “Tidak, tidak ada apa-apa kok. B-bagaimana kehidupanmu sekarang, Ri?”
Ari melirik ke arah Jaka, dengan mata setengah tertutup, “…Bagaimana menurutmu?”
Jaka sedikit terkejut pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula.
“Aku berpikir, kau melanjutkan kesukaanmu pada sains, dan jadi seorang peneliti.”
Mata Ari melebar ketika mendengar jawaban Jaka. Sejenak kemudian, ia tertawa.
“Peneliti? Ahahahaha…. Kau ini memang benar-benar Jaka."
“Kenapa kau malah tertawa? Aku serius.”
Ari perlahan menghentikan tawanya, “Maaf, maaf. Sayangnya dugaanmu itu salah. Aku cuma seorang pegawai negeri.”
Jaka terbelalak, “Serius…? Tapi, cita-citamu kan—”
Jaka mengangguk, “Memang, dulu cita-citaku adalah jadi seorang ilmuwan. Tapi, seiring usiaku bertambah, aku merasa itu bukan jalanku.”
Jaka menggaruk kepalanya pelan. Bukan jalannya? Jaka berpikir, itu adalah alasan yang sangat konyol. Lelaki yang duduk di sampingnya ini dulu pernah mengalahkannya dalam lomba sains, dan menjadi satu-satunya siswa mendapatkan nilai 100 di ujian fisika yang sangat sulit. Menurutnya, lelaki bernama Ari ini bukanlah orang yang akan menghabiskan hari-harinya bekerja sebagai PNS.
“Kenapa kau berpikir itu bukanlah jalanmu?”
Ari tidak langsung menjawab. Ia mendongak ke atas dan menghirup udara malam yang dingin. Kemudian, ia mengambil dompet di kantongnya, dan mengambil selembar foto dari dompetnya. Ditunjukkannya foto itu pada Jaka. Seorang wanita berdiri di samping Ari. Di depan mereka ada seorang gadis kecil.
“Ri… Ini…?”
“Yap. Keluargaku.”
“Ini alasanmu berhenti mengejar cita-citamu?”
“Mereka itulah cita-citaku,” Jawab Ari dengan senyum polos, “Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku dengan mereka. Membahagiakan mereka. Aku cukup yakin jika aku meneruskan mengejar ambisiku, aku takkan bisa bersama mereka.”
Jaka tidak membalas perkataan Ari. Ia termenung, berpiki bahwa kata-kata Ari ada benarnya. Jika Ari menjadi ilmuwan, ia mungkin akan sangat sibuk hingga tidak memiliki waktu untuk anak-anaknya, keluarganya—
“Kau sendiri bagaimana, Jaka?”
“Eh? Aku?”
“Ya. Kau seorang ilmuwan kan? Apa yang sedang kau kerjakan?”
“Ah… Tidak banyak. Aku dan timku baru saja pulang dari Swiss—”
“Wah, hebat benar!”
Jaka pun menceritakan kisah-kisah penelitiannya pada Ari. Ari memperhatikannya dengan tatapan mata yang polos, seperti seroang anak kecil yang sedang meendengarkan dongeng. Di sisi lain, Jaka tidak terlalu konsentrasi dalam bercerita. Kadang-kadang ia seperti kehilangan kata-kata. Itu semua karena kata-kata Ari tentang ‘cita-citanya’.
Jaka sama sekali tidak bisa membayangkan dirinya hidup berkeluarga. Ia menghabisnya nyaris seluruh waktunya untuk penelitiannya. Untuk proyeknya. Singkatnya, untuk dirinya sendiri. Jangankan punya anak, ia bahkan tidak pernah membayangkan punya istri.
“Waduh, sudah jam segini,” Jaka terus bercerita hingga ia menyadari waktu istirahatnya sudah berakhir sejak beberapa menit lalu.
Jaka akan berdiri kalau saja tidak di dahului Ari, “Kau harus kembali ke pekerjaanmu, kan? Tidak apa, mungkin kita akan dapat kesempatan yang lebih baik untuk berbincang lebih banyak suatu hari nanti.”
“Iya, semoga saja…”
Ari menepuk punggung Jaka, “Niatnya jalan-jalan malam, malah jadi reuni… Hahaha. Sampai jumpa, Jaka.”
Berbalik dan mulai berjalan, jarak Ari semakin jauh dari Jaka. Jaka pun menelan ludah, dan memanggil Ari.
Ari menengok, “Ada apa?”
“Apa kamu bahagia?”
Sekali lagi, Ari tidak langsung menjawab. Ia hanya terdiam sambil mendongakkan kepala, melihat ke arah langit gelap tak berbintang. Sejenak kemudian, ia kembali menghadap Jaka dan memasang sebuah senyum polos di bibirnya.
“Ya. Aku bahagia.”
Ari pun kemudian berbalik dan melambaikan tangannya, mulai berjalan lagi, kali ini tidak lagi menengok ke belakang hingga ia menghilang dari pandangan Jaka.
Jaka termenung. Ia tidak bisa membayangkan kebahagiaan, dimana ia harus bekerja demi orang lain. Ia tidak bisa membayangkan kebahagiaan, dimana ia harus mengurusi anak-anak. Membuang cita-cita yang sejak dahulu ia kejar demi keluarganya. Semua itu terdengar seperti seseorang memaksakan dirinya untuk bahagia.
Tapi kemudian Jaka mengingat senyum yang Ari tunjukkan padanya. Senyum yang tulus dari hati. Meskipun tidak bisa membuktikan secara ilmiah, Jaka yakin kata-kata Ari bukanlah kebohongan.
Lalu bagaimana dengan diriku sendiri?
Jaka mempertanyakan jalan hidupnya.
Apa aku harus mengambil jalan yang sama dengan Ari, demi kebahagiaan?
Saat itulah Jaka menyadari, dirinya tidak iri pada Ari. Kehidupan Jaka sejak dahulu sudah seperti ini, dan ia tidak ingin merubahnya. Ia sudah puas pada pekerjaan dan kehidupan sehari-harinya yang sering ia habiskan sendiri atau dengan teman-temannya.
Jaka menyadari, bahwa kebahagiaan bagi tiap orang mungkin wujudnya berbeda.
“…Kurasa pemikiran kita paralel,” Kata Jaka bicara sendiri sambil mulai berjalan kembali ke kantornya.
***
Kritik dan sarannya dung...