GlockOleh: Noor H. Dee alias Tukangtidur Tepat pukul sebelas malam. Di dalam sebuah kamar yang sempit. Pemuda itu memasukkan ujung glock ke dalam mulutnya. Ujung glock itu terasa dingin di lidah dan di langit-langit mulutnya. Jika malam ini usaha bunuh dirinya kembali gagal, mau tidak mau pemuda itu harus memercayai keberadaan Tuhan.
Pemuda itu memang sudah berkali-kali mencoba bunuh diri, tapi selalu gagal. Alasan ia ingin bunuh diri adalah karena ingin membuktikan kepada lelaki tua itu, bahwa urusan hidup dan mati seseorang tidak ada campur tangan Tuhan sama sekali. Lagi pula, pemuda itu yakin betul, bahwa Tuhan memang tidak pernah ada dan memang tidak perlu ada. Kalaupun harus ada, maka Tuhan itu tak lebih hanya untuk dijadikan bahan lelucon.
Siapakah lelaki tua itu? Entahlah. Pemuda itu juga tidak tahu. Mereka bertemu di stasiun kereta ketika hujan mulai deras. Pemuda itu berlari-lari kecil memasuki stasiun kereta sambil melepaskan tudung sweternya yang basah. Rambut, tas, celana, dan sepasang sepatunya juga basah. Sambil menahan gigil, ia bergegas ke loket untuk membeli karcis, kemudian berjalan menuju peron stasiun, dan duduk di bantalan rel yang dikonstruksi menjadi bangku panjang. Sambil menunggu kereta datang, pemuda itu tersenyum. Ia teringat wajah teman kuliahnya yang siang tadi tampak begitu bodoh, lantaran logika berpikirnya berhasil ia remukkan.
“Sekarang jawab pertanyaanku,” ujar pemuda itu kepada teman kuliahnya yang ia anggap sebagai fundamentalis kepala batu, “apakah Tuhanmu mampu menciptakan batu yang sangat besar, sampai-sampai Tuhanmu tidak mampu mengangkatnya? Kalau kamu bisa menjawabnya, aku akan menjadi pengikut setiamu dan menjadi hamba Tuhanmu! Aku serius.”
Sayangnya, si fundamentalis kepala batu itu belum begitu becus bermain logika, sehingga tidak mampu menjawab pertanyaan klasik yang terlontar dari mulut pemuda itu. Melihat temannya mati kutu, pemuda itu segera beranjak pergi sambil berkata, “
Gott ist tot!”
Di dalam stasiun, pemuda itu masih tersenyum mengingat wajah bodoh si fundamentalis kepala batu. Ketika sedang senyum-senyum itulah, seorang lelaki tua berpakaian lusuh berjalan ke arah pemuda itu dan kemudian duduk tepat di sampingnya.
Lelaki tua itu mengambil sebatang rokok dari saku bajunya, menyelipkan di bibirnya, dan membakarnya.
“Rokok?” tawar lelaki tua itu.
Pemuda itu tersenyum sambil menggeleng.
“Anda tidak merokok?”
Pemuda itu mengangguk.
“Aneh,” ujar lelaki tua itu, “biasanya ateis itu merokok.”
Pemuda itu mengernyitkan dahi. Ateis dan rokok hubungannya di mana? Lagipula, dari mana lelaki tua itu bisa tahu kalau dirinya seorang ateis?
”Aku adalah malaikat yang diperintah oleh Tuhan untuk menemuimu,” ujar lelaki tua itu, menjawab kebingungan pemuda itu.
Pemuda itu langsung tertawa, “Saya kira malaikat itu adalah seorang perempuan cantik berpakaian seksi, yang jatuh dari langit jika saya memakai parfum Axe!”
Lelaki tua itu buru-buru mengembuskan asap rokoknya ke udara, kemudian ikut tertawa bersama pemuda itu. “Ya, ya, ya, iklan itu memang menyebalkan bagi seorang malaikat tua sepertiku. Hahaha!”
Mereka tertawa bersama-sama. Di luar stasiun, hujan semakin deras. Kereta yang ditunggu-tunggu pemuda itu belum juga datang.
“Bagaimana Bapak bisa tahu kalau saya seorang ateis?” tanya pemuda itu kemudian.
“Tuhan yang bilang begitu.”
Pemuda itu mengibaskan tangannya, “Saya serius. Bagaimana Bapak bisa tahu?”
“Apakah menurut Anda wajahku tidak serius?”
Lelaki tua itu tersenyum dan menatap tajam ke arah pemuda itu.
Pemuda itu mengangkat bahu. “Terserah Bapak sajalah,” ujarnya sambil mengalihkan pandangannya dari lelaki tua itu, dan kemudian menyaksikan pemandangan sekitar. Sebenarnya pemuda itu penasaran, tapi ia tekan perasaan tersebut semaksimal mungkin dengan beranggapan bahwa barangkali semua itu hanya kebetulan semata. Lagi pula, pemuda itu curiga, jangan-jangan lelaki tua itu kurang beres pikirannya. Lihat saja penampilan lelaki tua itu: rambut panjangnya tidak terurus, jenggot dan kumisnya berantakan, kuku-kuku jarinya panjang dan penuh kotoran. Belum lagi baju dan celananya, tampak kacau sekali. Oh iya, satu lagi, lelaki tua itu bertelanjang kaki! Lengkap sudah kecurigaan pemuda itu. Lelaki tua itu mungkin orang gila penghuni stasiun kereta, ujar pemuda itu dalam hati.
“Terserah Anda mau menganggapku orang gila atau bukan,” ujar lelaki tua itu sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, dan menyemburkan asapnya dengan kencang, “yang pasti aku punya pertanyaan untuk seorang ateis seperti Anda.”
Pemuda itu kembali menatap lelaki tua itu.
“Pertanyaan apa?”
“Siapakah yang menentukan kematian seorang manusia?”
“Maksud Bapak?”
“Iya, selama ini kan para ateis semacam Anda selalu menolak eksistensi Tuhan. Makanya aku diperintah oleh Tuhan untuk turun dari langit dan bertanya kepada Anda: siapa yang menentukan kematian seorang manusia?”
“Kenapa Tuhan harus bertanya kepada saya? Bukankah Tuhan itu Si Mahatahu?”
“Tuhan bertanya bukan berarti Tuhan tidak tahu.”
Pemuda itu tersenyum, mengangkat bahu, dan menjawab, “Oke, saya akan jawab. Kematian seorang manusia ditentukan oleh proses alam dan oleh manusia itu sendiri.”
“Hmm….” Lelaki tua itu mengangguk-angguk. “Kalau begitu, coba buktikan ucapan Anda itu.”
“Maksud Bapak?”
“Ya, jika salah satu hal yang menentukan kematian seorang manusia adalah manusia itu sendiri, apakah Anda bisa membunuh diri Anda sendiri?”
Pemuda itu tertawa keras sekali. “Tentu saja bisa! Tapi, maaf, saya tidak ingin mati konyol dengan bunuh diri!”
“Kalau begitu, berarti Anda sedang membual. Anda sedang berkhayal. Anda tidak bisa membuktikan kebenaran ucapan Anda itu.”
“Lho, untuk apa saya bunuh diri jika hanya untuk membuktikan kebenaran ucapan saya? Bukankah buktinya sudah banyak, Pak? Sudah banyak orang yang melakukan bunuh diri di dunia ini. Jadi, dari fakta-fakta empirik itulah Bapak bisa menyimpulkan kebenaran ucapan saya. Begitu.”
Lelaki tua itu tersenyum, “Banyak juga yang melakukan bunuh diri tapi gagal. Kalau begitu bagaimana?”
Pemuda itu terdiam.
“Begini. Sehebat apa pun manusia mencari mati,” ujar Lelaki tua itu sambil membuang puntung rokoknya ke tempat sampah, “jika Tuhan belum menghendakinya mati, maka manusia itu tidak akan mati. Jika Anda tidak percaya, silakan Anda buktikan sendiri.”
Guntur menggelegar. Kaca stasiun bergetar. Hujan semakin menderas. Lelaki tua itu bangkit berdiri dan meninggalkan pemuda itu.
Beberapa detik kemudian, kereta datang memasuki stasiun. Serupa semut yang menemukan sebongkah gula-gula, puluhan manusia yang sudah sejak lama berdiri di peron stasiun langsung bergegas mengerubungi kereta tersebut. Saling berebut untuk masuk gerbong. Kecuali pemuda itu. Ya, pemuda itu masih duduk di tempat semula, dengan wajah yang tampak begitu serius sekali.
***
Semenjak pertemuan dengan lelaki tua itulah akhirnya pemuda itu terobsesi untuk membunuh dirinya sendiri. Bayangan wajah lelaki tua itu selalu terbayang di benaknya. Kata-kata yang diucapkan lelaki tua itu pun seperti tak mau hengkang dari gendang telinganya. Selalu menggema. Lama kelamaan kegelisahannya pun meledak. Ia ingin bunuh diri, untuk membuktikan kepada lelaki tua itu, bahwa yang menentukan kematian seorang manusia, ya, manusia itu sendiri. Bukan Tuhan. Bukan dewa-dewa dan yang semacamnya. Bukan siapa-siapa. Namun, sayang, semua upaya bunuh dirinya selalu berakhir dalam kegagalan.
Pecobaan demi percobaan sudah ia lakukan. Pada percobaan yang pertama ia menyilet urat nadi pergelangan tangan kirinya. Darah segarnya muncrat ke udara. Membasahi segala. Anehnya, ia tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia juga tidak merasakan tanda-tanda kematian. Tubuhnya masih segar bugar seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ia hanya merasa kerepotan karena harus membersihkan darahnya yang tergenang di lantai kamar.
Pada percobaan yang kedua ia menggantungkan lehernya dengan seutas tambang. Satu dua jam ia menggelantung ke sana kemari. Tidak terjadi apa-apa. Matanya tidak melotot. Lidahnya tidak terjulur. Ia tidak kehabisan napas atau yang semacamnya. Setelah berjam-jam menggelantung tanpa menuai hasil, ia mengayun-ayunkan tubuhnya dengan kuat, dan sepasang kakinya menginjak sebuah kursi kayu. Di kursi itu ia langsung melepas tali yang terikat di lehernya.
Pada percobaan yang ketiga ia melompat dari lantai empat di sebuah tempat pusat perbelanjaan. Ia terjun dengan begitu bebas. Tangannya merentang menantang angin. Sepasang matanya terpejam. Para pengunjung pusat perbelanjaan berteriak menyaksikan bagaimana tubuh pemuda itu meluncur begitu cepat. Sampai akhirnya tubuh pemuda itu pun sampai di lantai paling bawah. Terjatuh dengan kepala lebih dulu menghantam lantai. Bum! Namun, ajaib, kepalanya tidak pecah atau yang semacamnya. Segalanya baik-baik saja. Semua pengunjung bingung menyaksikan pemuda itu masih bisa berdiri dan melenggang pergi.
Pada percobaan yang keempat ia menabrakkan tubuhnya ke arah kereta yang melaju kencang. Tubuhnya terpental ke sana kemari, menabrak batang pohon, tiang listrik, dan berguling-guling ke dalam semak-semak. Namun, seperti percobaan-percobaan sebelumnya, ia kembali menerima kegagalan.
Ketika segala usaha bunuh dirinya selalu gagal, ia segera berkunjung ke rumah temannya yang seorang anarkis kaya raya. Borjuis murtad, begitu pemuda itu sering mengejeknya.
“Saya ingin meminjam glock kesayanganmu.”
“Untuk apa?”
“Untuk membunuh Tuhan!”
Si anarkis tertawa mendengar jawaban itu. “Tak perlu kamu bunuh pun Tuhan sudah mati sejak dunia ini tercipta!”
“Terserah, yang pasti hari ini saya benar-benar membutuhkan glock kesayanganmu itu. Pinjami saya.”
Sang anarkis menggeleng mantap. “Gila kamu! Saya tidak akan mungkin meminjamkan glock itu ke sembarang orang. Meskipun kita berteman, saya tak akan pernah meminjamkan benda keren itu kepadamu.”
Tanpa berbicara banyak, pemuda itu langsung menghantam kepala si anarkis dengan tinjunya. Berkali-kali. Bertubi-tubi. Si anarkis jatuh tersungkur. Pingsan. Pemuda itu langsung menggeledah isi lemari baju si anarkis, membongkar semua pakaian, membuka paksa laci lemari, tapi usahanya nihil. “Brengsek! Brengsek!” umpatnya. Sepasang matanya jalang menatap seluruh isi kamar. Intuisinya berkata bahwa ia harus mengangkat kasur tebal yang menempel langsung dengan lantai. Ia segera menuruti intuisinya. Kasur tebal tersebut ia angkat. Puluhan majalah dan dvd porno bertebaran. Namun tak ada glock di sana. Intuisinya keliru. Pemuda itu segera menurunkan kasur tebal tersebut sambil terus menggerutu. Pemuda itu menatap rak buku. Mungkin di situ! Dengan cepat ia menghampiri rak buku dan menjatuhkan buku-bukunya dengan sembarangan. Pemuda itu tersenyum. Terlihat sebuah glock berwarna hitam mengilat di bagian belakang rak buku. Ia langsung mengambil glock tersebut. Setelah mengecek bahwa glock itu telah berisi peluru, ia pun segera beranjak pulang.
***
Kini pemuda itu sudah pulang dan sudah berada di dalam kamarnya yang sempit. Ujung glock telah berada dalam mulutnya sejak tadi.
Sebelum menekan picu glock, pemuda itu kembali teringat perkataan lelaki tua itu. Sehebat apa pun manusia mencari mati, jika Tuhan belum menghendakinya mati, maka manusia itu tidak akan mati. Pemuda itu ingin membuktikan bahwa perkataan itu salah besar. Kehidupan dan kematian seorang manusia, sekali lagi, selalu berada di dalam kekuasaan manusia itu sendiri. Bukan kuasa Tuhan. Bukan kuasa dewa-dewa dan yang semacamnya.
Pemuda itu menekan picu. Glock menyalak di keheningan malam. Tubuh pemuda itu sontak terjungkal ke belakang.
Setelah itu hening.
Apakah pemuda itu berhasil mati?[]
Depok, 2011—6 Februari 2012