Cerita ini terjadi saat aku semester tiga. Waktu itu sore hari, yah sekitar jam empat sore gitu. Aku lagi online via mobile di pelataran masjid, nungguin ayahku yang lagi shalat ashar. Masjid yang nggak terlalu besar itu cukup ramai, karena letaknya yang dekat sama balaikota. Di pelataran masjid cuma ada beberapa gelintir manusia, kalo nggak salah sekitar enam orang termasuk aku. Pelataran masjid itu menghadap ke arah timur, tempat beberapa motor diparkir dengan rapi. Aku duduk menghadap beberapa motor yang lagi parkir ditinggal pemiliknya ‘menghadap’.
Waktu itu seingetku, aku lagi buka friendster (FS), ngebales testimonial yang masuk di FS-ku. Tiba-tiba...
Jreng... jreng...!!!
Dari arah selatan, seorang cewek berjalan pelan kearahku. Postur cewek itu agak pendek, dengan wajah yang agak kusam. Dia pake jumper yang dipake topinya sampai menutupi hampir seperempat wajahnya. Tangan kanannya ngebawa tas plastik warna hitam. Pas aku lihat bagian bawahnya, dia pake jins ¾ model belel yang, nggak tau sengaja atau enggak, sedikit robek-robek dibagian lutut plus sendal jepit merek Jepiten. Dengan penampilan seperti itu, aku pikir dia pasti kesini bukan mau shalat, tapi aku juga nggak mau terlalu curiga. Eh belum selesai aku mengamati penampilannya, ternyata dia nyapa aku sambil senyum-senyum.
Cewek-misterius: Masih sambil senyum-senyum. “Mau shalat ya, Mbak?”
Aku-yang-agak-skeptis: Menjawab dengan agak menjaga jarak. “Oh enggak kok, Mbak. Lagi nunggu ayah shalat.”
Cewek-misterius: Sambil manggut-manggut dan ngeliatin tanganku yang lagi megang handphone. “Ooo..”
Merasa ada yang janggal sama cewek itu, aku mulai mengamankan barang berhargaku. Mulai dari handphone 1, handphone 2, handphone ayah, dompet, kunci motor, helm, sandal, sepatu, TV, kulkas, laptop, komputer sampai rumahku. Hahahaha... Kalo kebanyakan yang dibawa kemana-mana gini jadi repot mau jagainnya. ^^
Saat aku lagi sibuk mengamankan barang berharga, si cewek misterius itu mulai beraksi. Diawali dengan sapaan keseluruh penonton yang hadir, si cewek menaruh satu kakinya di anak tangga kedua dan mulai bernyanyi dan bergoyang bak Dewi Perrsik. Srr...srr...
Hihihihi... Becanda kok!
Sebenernya dia beraksi diawali dengan adegan dia membuka topi jumper-nya sehingga aku bisa dengan jelas mengamati wajahnya. Rambutnya pendek, tapi potongannya kayak potongan cowok yang agak gondrong gitu, mata hitamnya sayu, lubang hidungnya dua dengan bibir berwarna agak kecoklatan, mungkin dia smoker atau mungkin dia habis minum susu coklat tapi lupa dibersihin. Wajahnya sebenernya nggak jelek, tapi lusuh. Mungkin dengan sedikit sentuhan make up artist, dia bakal nggak beda jauh sama Sandra Dewi. Beneran! Nggak beda jauh, tapi jauuuuuuh berbeda. Hehehe.
Sesaat setelah membuka kedoknya, dia mulai mengajakku ngobrol. Dia mengajukan pertanyaan pembuka, seperti ‘masih sekolah apa sudah kuliah?’ ‘Tinggal dimana?’ Dan bla-bla-bla. Aku menjawab satu persatu pertanyaannya sambil tetap siaga dan waspada (aku selalu inget-inget pesan Bang Napi di salah satu berita kriminal: “Waspadalah... wapadalah!!” hoho).
Sambil bertanya, dia sempat beberapa kali menanggapi jawabanku. Misalnya nih, saat dia tahu aku kuliah, dia menanggapi dengan ajaib. Mimik wajahnya yang tadinya biasa aja, begitu menanggapi jawabanku, berubah jadi agak muram.
Cewek-yang-masih-misterius: Matanya menatap lurus kedepan sambil pandangannya kosong. “Enak ya bisa kuliah. Aku ya pingin kuliah, tapi nggak punya uang, Mbak. Hihihi. Aku ya nggak pinter, bisanya minta sedekah ke orang-orang. Mereka itu banyak yang kaya, tapi pelit lek (kalau.red) ngasih sedekah...” Diam untuk menarik napas dan aku lihat... Dia menangis?!
Aku-yang-nggak-tahan-denger-cerita-sedih: “........” Hening.
Cewek-misterius-yang-sedang-sedih: “Aku dulu itu yo orang mampu, pernah kaya. Tapi tiba-tiba ada masalah. Hartaku sampai ludes. Barang-barang dirumahku habis tak jualin, Mbak. Buat beli makanan adik-adikku, hehehe.” Di akhir kalimatnya, dia ketawa aneh. Mulutnya ditutupin pake telapak tangan kanannya, udah gitu kalo ketawa, bagian badannya ikut bergetar. Lucu ngelihatnya, tapi ketawanya tuh beda.
Aku-yang-mulai-terenyuh: hanya bisa manggut-manggut dalam diam dan memperhatikan cewek itu sambil tetep siaga dan waspada.
Dalam diam sesaatku, aku sempet mikir, ni orang bohong apa nggak ya? Kok ceritanya terkesan kayak “korban sinetron” gitu. Mirip banget cerita-cerita di sinetron yang lagi memberondong dunia hiburan Indonesia saat ini.
Nggak lama aku larut dalam pikiranku, si cewek misterius itu mulai cerita-cerita lagi.
Cewek-yang-mulai-aneh: “Aku sekarang yo udah nggak punya baju, ini mek (cuma.red) yang tak pake tok (saja.red). Semua aku jualin, Mbak. Kemaren bajuku dihargai Rp 1.500,00 sama tukang rombeng. Ini aku bawa bajuku buat dijual. Mbak beli ya?
Aku-yang-agak-shock: Tampang cengok sambil ngelihatin tas kresek hitam yang dibawa cewek misterius itu. “Hhhah???”
Cewek-misterius-yang-mulai-merajuk: “Terserah wes dihargai brapa, ini buat aku makan, Mbak...”
Aku-yang-mulai-bingung-harus-ngapain: Cuma bisa diam dan senyum. Asli aku saat itu sibuk merangkai kata yang pas untuk menolak permintaannya. Bukannya aku pelit, tapi aku masih curiga. Iya kalo dalam kresek itu emang beneran baju. Lha kalo ternyata pas aku buka isinya semacam organ tubuh. Gimana hayo?!
Cewek-misterius-yang-mulai-memelas: “Yo lek nggak mau beli, yo nggak papa, nggak maksa aku, Mbak. Tapi ini belien wes Mbak. Murah kok. Yang penting cukup buat makan. Hehehehe.”
GUBRAK!!! Katanya nggak maksa, yang barusan itu ngapain coba?! Please deh, mbak...
Disaat genting seperti itu, tiba-tiba ada ide cemerlang muncul di otakku yang cemerlang ini. Ide itu muncul begitu aku ngelihat ada tukang mie ayam yang lagi nongkrong di luar pagar masjid.
Aku-dengan-ide-cemerlangku: Dengan mata sipit yang berbinar-binar (karena baru dapet pencerahan), mulai menawarinya makan. “Mbak mau makan?”
Cewek-misterius-yang-agak-sumringah: “Iya Mbak, ini buat makan.” Nada suaranya berubah riang, mungkin dia pikir aku mulai berubah pikiran dan membeli bajunya.
Aku-yang-berusaha-tetep-kelihatan-ramah: ”Kalo Mbak mau makan, itu saya belikan mie ayam.” tawarku sambil menunjuk tukang mie ayam.
Tukang mie ayam yang aku tunjuk, mulai pasang senyum lebar banget yang seolah-olah berbicara ”Ayo beli... Mie ayam-ku 100% ayam asli!”
Cewek-misterius-yang-agak-kecewa: Seketika setelah mencerna tawaranku, doi langsung geleng-geleng kepala. ”Nggak.. nggak usah, Mbak. Saya nggak laper, ini buat adek saya.”
Aku-yang-mulai-maksa: ”Nggak papa, mie ayamnya nanti dibungkus buat adek dirumah, bajunya itu buat mbak saja.”
Cewek-misterius-yang-mulai-ngeselin: ”Nggak usah Mbak, disini mahal. Kalo saya beli makanan itu Rp 2.000,00 udah bisa jadi makan buat sehari.”
Aku-yang-mulai-bete: $%#@*$*#@*!!!
Perdebatan kecil itu berakhir ketika ada seorang wanita setengah abad, memakai mukena (kayaknya sih mau shalat), yang tiba-tiba menanyakan keadaan si cewek misterius itu
Ibu-ibu-jamaah-yang-misterius-juga: “Gimana kamu? Sehat?”
Cewek-misterius-yang-menjengkelkan: Sambil nyium tangan si ibu. “Hehe, iya.”
Dan si ibu misterius itupun berlalu dan memasuki masjid. Sebelum masuk masjid, aku sempet lihat ibu itu dan si ibu senyum ke aku. Aku yang emang dasarnya murah senyum, membalas senyum ibu itu.
Si cewek misterius itu mulai diam. Sedangkan aku celingak-celinguk ke dalam masjid, sambil mencari sosok ayahku. Aku saat itu bener-bener mulai kesel sama cewek misterius itu. Entah kenapa rasanya cewek itu agak “sakit” deh.
Oh my goat, ngapain aja sih ayahku di dalam masjid itu? Lama amat! Oke, mungkin beliau shalat sunnah dua rakaat, shalat ashar empat rakaat, kalo masing-masing rakaat beliau habiskan dua menit, estimasi waktunya (2+4)x(2x60 detik)= 720 detik= 12 menit. Mungkin ditambah doanya 10 menit. Jadi totalnya 22 menit. Tapi kenapa sampai lebih dari 30 menit, ayahku nggak keluar-keluar?! Nggak tahu apa nasib anaknya yang cantik ini sedang terancam?!
Huwaaaaaa.... T,T
**
Mungkin emang bener kata orang bijak: “Doa orang yang teraniaya lebih didengar oleh Tuhan”. Buktinya, nggak lama setelah aku nangis-nangis darah karena merasa teraniaya oleh kedatangan cewek misterius itu plus karena ayahku yang tak kunjung muncul di pelataran masjid. Eh tiba-tiba ada yang nepuk pundakku. Tepukannya cukup mantap. Tanpa perlu menoleh untuk memastikan siapa gerangan, aku udah tahu kalo itu pasti tangan ayahku. Dari baunya juga udah bisa ditebak. Hehehe.
Ayahku-yang-kunanti-nanti: “Ayo...” Ajak beliau kepadaku sambil melirik sekilas ke arah cewek misterius itu.
Aku-yang-langsung-merasa-tenang: “He-eh...”
Sebelum aku ninggalin masjid untuk menyusul ayahku yang mulai berjalan keparkiran, aku coba tawarin mie ayam sekali lagi ke cewek misterius itu. Cewek misterius itu langsung geleng-geleng dan mulai pergi menjauhiku. Aku pun langsung menyusul ayahku meninggalkan pelataran masjid sambil mengumpat dalam hati. “Cewek yang aneh!”
Sebelum mengeluarkan motor dari tempat parkiran, ayahku melihat aku dengan tatapan agak aneh atau paling tidak itu yang aku rasain.
Aku-yang-bingung-dengan-tatapan-ayahku: “Apa?”
Ayah-dengan-tatapan-yang-tetap-aneh: Mulai senyum-senyum nggak jelas. “Tadi itu kamu ngapain?”
Aku-yang-bengong: “Tadi? Nggak tahu tuh, mungkin dari mukaku udah keliatan tampang-tampang psikolog kali ya? Kok tiba-tiba cewek itu datengin aku trus curhat-curhat gitu. Tadi dia loh juga sempet nangis pas ditengah-tengah curhatnya, Yah.”
Pas dibagian ‘mukaku udah keliatan tampang-tampang psikolog’ itu, aku kasih sedikit penekanan pada nada suaraku. Hehehe. Bukannya nada sombong, cuma agak congkak aja. Huahahaha.
Ayah-dengan-tampang-tanpa-ekspresi: “Anak itu nggak asing di masjid itu...”
Aku-sambil-manggut-manggut: “Iya sih, tadi dia juga sempet nyapa dan ngobrol dikit sama ibu-ibu jamaah sana tadi. Tapi kok Ayah tau?”
Ayah-sok-tahu: “Pernah dulu pas ayah shalat shubuh di masjid itu, ayah ngelihat anak itu. Waktu itu rambutnya masih panjang. Tiba-tiba dia ikut shalat tapi dibagian shaf cowok. Trus pas ayah perjalanan pulang meninggalkan masjid itu, ayah ngelihat cewek itu jalan di trotoar sambil ketawa-ketawa sendiri.”
Aku-yang-lagi-lagi-shock: “.....”
Aku speechless, nggak bisa dan nggak tahu mau ngomong apa. Aku cuma bisa melongo dengan mulut menganga sesaat setelah mendengar pernyataan ayah. Beneran! Aku cuma bisa melongo segede kolong meja, padahal mulutku kecil, keliatan banget lebay-nya yah? Hehehe.
Melihat aku melongo. Ayah kayaknya nggak tahan untuk nggak mengungkapkan perasaannya.
Ayah-yang-mulai-senyum-senyum-geli: “Kayaknya cewek itu agak nggak “waras” (sehat.red), Dek...”
Aku-yang-masih-nggak-percaya-dengan-apa-yang-ku-alami: “Haaah...”
Otakku, meski sulit, kupaksa untuk merekam semua info yang aku punya: rambut panjang, shalat di shaf laki-laki, ketawa-ketawa sendiri di pinggir jalan, waktu curhat tiba-tiba nangis terus ketawa-ketawa...
Berarti...
Tadi...
Aku dicurhatin orang gila dong?! Sekali lagi: ORANG GILA...!
Hiiiiiaaaaaah....
_ninD_
16.10.09
Dalam Malang yang tak berbintang
(karena emang sudah pagi hari)