Malam terus merangkak dalam gelap. Dewi angin menari lambat dan begitu perlahan, menggendong butiran – butiran air bersamanya. Malam ini kian dingin terasa. Dan terus saja bertambah dinginnya, seiring gundah gulanaku yang tak pernah habis, selalu tersisa.
Hanya malam dan hanya bersama malam. Aku termangu menatap layar komputer kosong yang sedari tadi meratapi nasib dan tak terisi, menatap balik sang pelaku yang telah membiarkannya teronggok tak berdaya –aku-. Penuh iba.
Lantunan irama pedih menyayat hati menambah sakit yang ada. Kunikmati perih yang datang menyiksa, kuresapi tiap tetes air mata yang meluncur bebas tiap kali aku mengedipkan mata. Bahkan ketika mencoba menutup mata sekali pun, ia tetap nekat mengalir turun, membasahi pipi yang telah semakin tirus tiap waktu hanya karena aku tak mampu melupakanmu.
Kenyataan.. Sesuatu yang begitu menyentak dan tak lepas, sekuat apa pun aku berlari, dia terus mengejarku. Aku tak sanggup membuat jarak darinya barang hanya selangkah. Aku adalah seorang gadis yang dewasa dari segi usia, namun mentah dalam segi mental. Bahkan terhadap kenyataan yang ada, untuk sekedar mengikhlaskannya sekalipun aku tak bisa.
Denting piano lembut mengiringi. Komputerku tetap diam terpaku. Melirik miris ke arahku yang sibuk meratapi diri. Membuat jam dinding merasa enggan berputar, sehingga di telingaku, nyanyian kepergian tiap detiknya tak lagi indah.
Suara lembut para penyanyi membahana, memenuhi ruang kamarku yang sepi. Selain nyanyian sayup mereka, terdengar isak tangis gadis bodoh ini yang setengah mati menahan pedih, suara detik jam yang berat berjalan, dan semilir angin yang berhembus pelan.
Tak terdengar lagi kicau burung yang biasanya tak bosan melagu, tak kudengar lagi lalu lalang kendaraan di lalulintas yang selama ini ramai kurasa. Aku terpuruk dalam sepi ini. Sepi yang mengikat dan menjerat hati kecil yang lemah dan yang telah hancur lebih dari setengah bagiannya.
Dengan air mata yang terus mengucur tiada henti, dengan mata yang hanya bisa melihat segalanya sebagai samar – samar, kupaksakan jari – jari mungilku menari. Membuat satu suara lagi di malam ini. Suara keyboard yang naik turun menambah satu di antara banyak arti.
Pada tiap baris kata dari jemariku ini aku mengukir tiap keresahan yang tak mampu kuucapkan. Kuungkapkan kerinduan atas suara lain yang biasa kudengar. Atas kebiasaanmu mengigau di tengah malam, atas berisikmu yang sering terbangun dan berlari kecil ke belakang, atas manjamu yang sesekali membangunkanku ketika mataku baru sebentar terpejam, untuk sekedar bilang kau menyayangiku. Kau begitu sibuk hingga di waktu seperti ini, hanya di tengah malam seperti ini, kita bisa berbagi segalanya.
Aku bahkan rela pergi dalam keadaan mengantuk di pagi hari, asal tiap malam aku bisa mengamatimu tidur. Aku juga rela tiap hari diceramahi karena kebiasaan menguapku saat kuliah. Aku benar – benar rela menghabiskan waktu pulas di bangku kayu sekaligus meja kuliahku itu, tanpa mempedulikan efek sakit pinggang setelahnya. Aku tak akan pernah menuntut, meski harus diusir keluar kelas, sebab aku rela. Aku sungguh sangat rela, melewatkan jam makan siangku yang berharga, untuk sekedar mengganti jam tidurku yang banyak tersita. Aku rela, aku bahkan ingin selamanya selalu merelakan segalanya dalam keadaan seperti itu. Harus berapa kali lagi kukatakan bahwa aku rela?!
Asal aku dapat tetap memandangi polos wajahmu yang lelap dengan mulut ternganga. Asal aku bisa terus mencuri cium atas keningmu ketika mimpimu telah terbang hingga ke mana. Asal aku bisa menekan hidungmu saat pernapasanmu mulai terganggu dan kau ngorok tak tentu arah. Asal aku dapat melihat kau yang selalu tak pernah mengatupkan bibirmu ketika kau telah benar – benar kehilangan kesadaran. Asalkan tangan lemah ini dapat sesekali membelai lembut rambut hitammu yang sering basah oleh keringat, asal aku dapat menyentuh kulit dan tubuhmu yang lembab. Asal semua itu tetap ada, aku pasti rela menanggung resiko apa saja. Dan lewat jemariku ini, aku mengatakan semua kerinduan yang tersimpan ini hanya untukmu.
Napasku mulai tercekal dan kerinduanku semakin memburu. Segala pedih seolah menyeruak keluar seketika, tapi belum, sungguh sebenarnya semua ini bahkan belum mampu menyampaikan satu dari sekian juta bagiannya. Bagian kerinduanku atas mu yang sangat menyiksa.
Kau di mana?
Mengapa aku tak boleh lagi mendengarmu berbicara?
Mengapa aku dilarang melihat senyummu seperti biasanya?
Aku berhenti mengetikkan kata – kata untuk menghapus air mata yang jelas sia – sia. Karena mataku yang produktif terus saja memproduksi tiap butirannya.
Kembali aku tertunduk, menyandarkan tubuhku ke atas meja, dan kemudian tersengal, terbatuk, dan merintih merasakan tiap sakit yang datang. Menyandarkan tubuh yang rasanya tak lagi sanggup kutopang.
Ingatanku melayang.. pada pertemuan denganmu, empat tahu yang lalu.. di kala ku baru lulus SMA.
to be continuedsampai sekarang aku masih belum dapat ide gimana harus ngelanjutin ceritanya..
tokoh aku itu wanita selingkuhan, masih kuliah..
aku bingung gimana caranya dia bisa ketemu pujaan hatinya dan akhirnya rela jadi selingkuhan..
butuh masukan..