Aku sama dengan malam, mirip dengan gelap yang selalu sendiri selalu menikmati kesepian, kesendirian dan ketidakberdayaan tanpa siapapun.
Dulu aku mungkin membutuhkan orang lain untuk berbagi, dulu memang aku selalu ingin bersama orang-orang yang aku sayang, tapi itu dulu kini tinggal aku sendiri! entah aku yang meninggalkan mereka atau mereka yang meninggalkan aku, entahlah aku tak tau pasti.
Tapi ada seorang yang selalu berada disisiku dia selalu mengikutiku, meniru gerak-geriku, terkadang mengejekku sesuka hatinya, kadang juga memberi ku semangat dan tak jarang dia menasehatiku, seperti malam ini saat aku duduk di kamarku yang sedikit gelap karena memang tak kunyalakan lampunya, kulihat dia disitu dia setengah tersenyum padaku, senyum mengejek!.....aku muak padanya aku palingkan wajahku tapi tetap hanya dia yang terlihat
"Hei...sampai kapan kamu duduk disitu? apa tidak bosan aku saja bosan melihatmu," dia membuka suara aku menatapnya dengan sesinis mungkin.
"Apa pedulimu, jika bosan pergi saja dari sini!" Seruku padanya tapi dia hanya tertawa
"Kalau aku bisa...sudah dari dulu aku pergi dari sini! aku jijik hidup disini apalagi hidup bersamamu," cibirnya padaku. Aku melempar gelas yang ada ditanganku padanya tapi apa? dia tidak terluka sama sekali dia hanya tertawa-tawa, tawanya membuat telingaku sakit.
"Apa maumu?" aku bertanya berusaha meredam tawanya
"Aku ingin keluar dari sini, aku bosan terkurung disini aku ingin menikmati kehidupan luar yang mengasikkan," ujarnya kali ini terlihat serius tanpa tawa
"Keluar saja jika ingin keluar, nikmati saja apa yang ingin kau nikmati jangan mengangguku!" balasku sedikit santai yang langsung membuat dia terlihat berang
"Kau itu bodoh atau idiot? kau yang mengurungku disini kalau kau tak keluar bagaimana bisa aku keluar!" serunya padaku dengan nada marah, kini gantian aku yang tertawa mengejeknya.
"Nikmati saja kalo begitu!" Tandasku.
kini dia terlihat melemah tak seberang tadi tapi dia belum mau berhenti bicara
"Apa yang kau cari disini?" dia terlihat sedikit putus asa "Apa kau tak bisa seperti orang-orang lain menikmati hidup mu apa selemah ini hidupmu?" kini dia menatapku iba dan aku benci tatapan itu
"Apa pedulimu? ini hidupku terserah aku mau menghabiskannya dengan cara apapun!" ujarku seraya menyenderkan kepala di tembok, jelas terlihat lemah dan dia kini kembali tertawa, menertawakan kelemahanku.
"Yang seperti ini kau sebut hidup?" ejeknya "Ini bukan hidup ini hanya sebuah kematian yang bernafas," ujarnya aku sedikit terhenyak mungkin benar apa kata dia ini memang kematian, kematian yang bernafas hanya nafas ini yang membedakan dengan kematian sesungguhnya.
"Kenapa kamu tidak keluar? pergi bermain dengan teman-temanmu, atau kencan dengan seorang kekasih atau menghabiskan waktu dengan keluargamu dari pada disini menyendiri diruang gelap ini," bisiknya padaku
"Aku bukan orang yang butuh keramaian seperti dulu dan kau bilang apa barusan? teman? kekasih? keluarga? aku tak punya semua itu!" balasku sambil menatapnya nanar.
"hahaha lucu!" dia tertawa terbahak-bahak "di dunia ini begitu banyak manusia tak mungkin tak ada yang mau berteman denganmu, tak mungkin juga tak ada yang mau jadi kekasihmu kau hanya cukup membuka dirimu. dan kau harus tau manusia tidak keluar dari bambu sehingga kau bisa dengan mudah mengatakan kau tak punya keluarga. kau hanya perlu mencari!" desisnya mengusik nuraniku
"Aku lelah mencari, aku jera membuka diri," sahutku dengan lemah "Dulu aku membuka diri, setiap orang aku ijinkan masuk tapi apa? mereka yang masuk hanya menorehkan luka dan pergi meninggalkan luka itu begitu saja mereka tak perduli meski luka itu berdarah dan perih." lanjutku dengan nada pilu tapi dia tak terlihat simpati sedikitpun
"Memang dasar kau yang lemah!" dia tak bosan-bosan mengejekku dengan kata-kata lemahnya, "Hanya luka seperti itu saja membuatmu jera kau hanya cukup membersikan darahnya memberikan obat pada lukamu, dan lukamu akan sembuh tak perlu menangis-nangis dan sampai kapok lah." ujarnya enteng bernada meremehkan
"Bebicara saja sesukamu, toh bukan kamu yang merasakan," jawabku sedikit marah "Orang-orang itu munafik semua, hidup dalam kepura-puraan. Mereka tersenyum, tertawa, menangis hanya supaya dianggap ada, dianggap bersosialisasi dengan yang lainnya jadi buat apa berteman dengan mereka kalo semua yang mereka tunjukan hanya kebohongan? buat apa hidup berdua dengan kekasih kalo penuh kdengan kepura-puraan? tanpa mereka pun aku bisa sendiri!" aku meberondongnya dengan pertanyaan dan mengakhirinya dengan pernyataan.
"Heh...apa kau sadar kau itu juga munafik!" aku menoleh kearahnya berani-beraninya dia mengataiku munafik.
"Aku tak munafik," tantangku dengan suara keras
"Kau munafik!" balasnya dengan suara lebih keras lagi "Kau sangat munafik! kau berfikir kau bisa hidup sendiri tapi kenyataannya kau merindukan teman, kekasih, keluarga!" ujarnya lagi dengan berapi-api, dan aku segera membantah
"Aku tak butuh mereka apa lagi merindu mereka! aku kuat dan gak butuh siapapun untuk menopang hidupku. sekalipun aku gak punya kaki aku masih bisa nyeret tubuhku pake tangan, aku ga butuh siapapun!!" tegasku dengan suara bergetar
"mungkin kamu yang merindukan kehadiran mereka" ejekku padanya
"Ya, aku memang butuh mereka, merindukan mereka sialnya aku harus terjebak bersama orang bodoh dan munafik sepertimu di sini," ujarnya sedikit sedih yang membuatku sedikit iba padanya
"Buat apa kau merindukan dan membutuhkan mereka, mereka tak bisa mengubah hidupku ataupun hidupmu" aku sedikit melunak mendengar nada kesedihannya
"Mereka memang tak bisa mengubah apapun, hanya dirimu yang bisa mengubah hidupmu tapi mereka bisa menemanimu, memberimu semangat saat kau berjuang mengubah hidupmu sendiri," ujarnya masih dengan nada lemah layaknya orang kesakitan.
"Apa? menemani?? mereka tak mungkin bisa menemani apa lagi memberiku semangat, yang mereka lihat hanya kejelekanku, dan kau tau saat dimana mereka cuma melihat kejelekanku saat itu aku akan semakin menunjukkan kejelekan itu pada mereka." dia diam demi mendengar pernyataanku.
"Mereka yang bilang aku berubah! maka aku berubah seperti yang mereka mau," ujarku lalu diam mungkin aku lelah berkoar "Kau harus berjuang untuk hidupmu, kembalilah seperti dulu jangan menangisi luka yang sudah kering!" kali ini suaranya terdengar seperti nasehat padaku, aku hanya menatapnya diam.
"lupakan orang-orang yang membuatmu terluka lupakan rasa sakitnya kau harus bangkit dari keterpurukan kau tau aku lelah tiap hari melihatmu seperti ini," dia kembali bersuara dan aku hanya diam
"Ayolah bangkit berdiri, mungkin kau memang pernah dibuang tapi bukan berarti kau harus ikut membuang dirimu sendirikan?" dia sepertinya sangat bersemangat memberiku nasehat aku memandangnya nanar.
"Kau tau aku sudah kehilangan masa kecil, masa remaja, masa muda dan masa-masa bahagia lainnya," ujarku sambil meremas rambutku, kepalaku mendadak pusing mungkin aku terlalu kuat meremas rambutku hingga rambutku terasa akan lepas dari kulit kepalaku.
"Heh bodoh! kau mungkin kehilangan masa mudamu tapi kau belum kehilangan masa depanmu!! tak masalah tak memiliki masa muda tapi kau tak boleh tak memiliki masa depan." suaranya semakin terdengar yakin sementara aku semakin goyah pada diriku sendiri.
"Apa kau pernah mendengar orang-orang bilang setelah hujan badai pasti akan ada pelangi begitu juga hidup meskipun banyak penderitaan pasti akan ada akhir yang bahagia." aku langsung tertawa terbahak-bahak mendengarkan ucapannya barusan
"Dan kau mempercayai hal itu?" tanyaku setengah tak percaya dia bisa mempercayai hal konyol seperti itu.
"Ya aku mempercayainya," ujarnya dengan polos membuatku semakin menertawakannya.
"Apa kau tau sekarang tiap hari turun hujan, angin juga kencang mungkin bisa di sebut badai tapi apa ada pelangi?" tanyaku dan dia diam membuatku merasa menang.
"Atau jangan-jangan warna pelangi itu mulai memudar?" ejekku dengan tatapan jahil "Atau pelangi-pelangi itu bosan muncul karena terlalu sering hujan badai?" lanjutku masih dengan nada mengejek.
"Pelangi itu selalu muncul hanya kau yang tak melihatnya karena saat hujan badai kau lebih memilih berlindung bahkan kau tak tau kapan hujan berhenti jadi bagaimana bisa kau melihat pelangi ?" tanyanya yang membuatku tak bisa menjawab.
"Pelangi-pelangi itu selalu setia pada hujan mereka tak mungkin bosan apa lagi pudar tapi terkadang kau tak bisa melihat pelangi di tempat yang sama saat kau melihat hujan." dia diam sebentar "Dibutuhkan pengorbanan, kadang kita harus mendaki bukit agar bisa melihat pelangi tak bisa hanya melihat dari jendela seperti kita melihat hujan" lanjutnya dan aku hanya diam.
"Tapi apa aku bisa mendaki bukit itu? bukankah saat hujan semua bukit akan licin, mungkin aku akan terjatuh sebelum aku bisa melihat pelangi," aku menjawab dengan nada putus asa.
"Lihatlah kau memang benar-benar bodoh! pesimis! sia-sia aku berbicara panjang lebar," ujarnya marah suaranya sudah tak lembut seperti tadi
"Kau hanya pandai berteriak, padahal kau sendiri pun tak bisa!" cemoohku padanya
"Andai aku bisa sendiri aku pasti sudah lakukan tapi sayangnya aku tak bisa tanpa kau, aku takan bergerak jika kau tak bergerak" ujarnya kali ini terlihat sangat menyedihkan seolah-olah dia terpenjara olehku, sekejam itukah aku padanya? apa penderitaanku juga dirasakan olehnya? tapi apa aku bisa di persalahkan atas keterpenjaraannya?
"Itu bukan salahku jika kau terpenjara bersamaku, salahkan saja takdirmu atau salahkan saja Tuhanmu kenapa Tuhan menakdirkamu menjadi bayanganku!!!" tandasku seraya bangkit dari tempat duduk ku dan menekan saklar lampu kamarku, seketika itupun dia menghilang ditelan cayaha.
"Segampang itu mengusirnya, kenapa tak aku lakukan sejak tadi malah membiarkannya mengoceh tak karuan" rutukku dalam hati sambil menghempaskan tubuhku diatas kasur dan mulai mengarungi mimpi yang tak pernah indah.
THE END