HUJAN masih menggantung sejak pagi tadi, padahal sudah memasuki bulan Mei. Sepertinya alam tak lagi berkompromi dengan waktu, pikirku, kesal. Aku benci hujan. Lebih benci daripada terik kemarau.
Kulajukan mobil usangku menembus tirai hujan. Udara dingin menusuk-nusuk sendi, membuatku menggigil. Jalan membentang meliuk-liuk di depanku bagaikan ular raksasa yang muncul dari lubang tanah, kemudian ia membelitku, meremukkan belulangku, menelan bulat-bulat tubuhku hingga berakhir dalam perutnya. Uh, walaupun sudah kepepet, aku tidak sudi mati ditelan ular.
Tak sedikit orang percaya bahwa hujan mampu memberikan perasaan tenang, bahkan bisa melupakan masalah pelik yang mengerubungi pikiran. Katanya lagi, ketika menatap hujan, apalagi mencium aromanya, sama halnya dengan menikmati malam penuh bintang: menyejukkan. Huh, bagiku hujan tak lebih dari pembawa kegelisahan, pelesak keresahan, pemahit kesedihan.
Kali ini mau tak mau kenangan itu menyeruak lagi. Aku teringat ketika aku tersengal-sengal karena asmaku kumat; teringat pertengkaran orangtuaku yang tak pernah cukup dengan adu mulut saja; pun ketika ayah meregang nyawa sepulang dari ladang karena serangan jantung. Semua kejadian itu terjadi saat hujan sedang menindih tanah. Masih banyak kenangan lecak lainnya yang terjadi di bawah hujan ini, terakhir, ketika melihat istriku seranjang dengan lelaki lain di depan mataku.
Kurenungi jalan-jalan basah layaknya drama yang tak berujung. Lamunanku tersita oleh lagu yang melantun dari radio mobil. Bahasanya tak kumengerti, mungkin Jepang atau Korea (justru aku suka dengan lagu berbahasa asing, karena membebaskan imajinasiku tentang arti lagu itu). Lagu itu hanya berisi nyanyian tanpa iringan musik, seperti nyanyian anak-anak yang sedang bermain. Terakhir kutahu dari penyiarnya, lagu itu berjudul ”Teru Teru Bozu”, sama sekali tak mengerti apa artinya.
Dulu, Ibu sering menyanyikan lagu-lagu anak yang kusukai (disukai pula oleh anak-anak pada umumnya): Satu-Satu, Lihat Kebunku, Pelangi, Bintang Kecil, dan ... Hujan. Aku membayangkan anak asia yang menyanyikan lagu itu selayaknya menyanyikan lagu Hujan.
Sejujurnya aku tak tahu kemana tujuanku. Aku hanya mengikuti kehendak hati, dan jalan-ular ini yang bersisian dengan laut.
Aku tak ingat lagi sudah berapa lama tak meminum obat yang diresepkan dokter. Bahkan, aku tak ingat apakah hari ini sudah makan atau belum. Hm, apa kuterobos saja palang jalan itu supaya aku jatuh ke jurang; atau kutenggak bensin yang telah kupersiapkan di jok belakang; atau kubakar saja mobil ini, dengan begitu mobilku akan meledak, lalu tubuhku hancur menjadi puing-puing daging. Wah, pasti menakjubkan jika bisa menyaksikannya.
Lihat! di sana, ada tebing yang curam ke laut. Tidak, jangan dengan mobilmu, biar ini menjadi rezeki orang yang menemukannya. Ya, tebing itu sangat pas sebagai tempat terakhir sebelum kau mati. Kau bisa melihat pemandangan indah untuk terakhir kalinya. Sempurna sekali bukan?! Kematian yang paling menyenangkan.
***
AKHIRNYA aku benar-benar berada di ujung tebing ini. Tempat ini cukup sepi, perumahan penduduk masih berjarak beberapa ratus meter dari sini. Sengaja aku menunggu hujan reda sebelum mengikuti bisikan yang datang tiba-tiba.
Bisikan itu sama sekali bukan bisikan Iblis. Bukan!! Aku tak percaya Iblis itu ada, seperti aku tak percaya Tuhan itu ada. Iblis, hanyalah karakter fiktif untuk membenarkan ego manusia. Iblis, tak lebih dari ciptaan manusia itu sendiri.
Kupandangi alam dari bibir tebing. Laut berwarna biru-gelap membentang luas sejauh mata memandang, matahari pascahujan hanya tampak seperti kuning telur yang pecah, bercecer: tak bulat sempurna. Ada kapal-kapal kecil yang berlayar dari kejauhan, kian jauh kian tenggelam badannya. Ada burung-burung yang melintas bergerombol membentuk formasi ”V” terguling layaknya ujung panah. Dan gelombang laut yang bergolak mesra, berirama seperti penari perut yang mengoyang-goyangkan pinggulnya, dan ke mana gerangan pelangi? Oya, posisiku tidak memungkinkan untuk melihatnya. Aku harus berada membelakangi matahari untuk bersitatap dengan pelangi.
Sebentar lagi aku akan mengakhiri semua penderitaan ini. Kuharap—jika memang benar—aku bisa terlahir kembali menjadi pohon rindang supaya bermanfaat sebagai tempat berlabuh banyak makhluk lain untuk bersarang, mencari makan, atau sekedar berteduh. Pun jika menjadi burung aku ingin menjadi burung parkit. Burung yang kesetiaannya laksana gelombang laut dan karang. Aku tak menyesal pula jika terlahir sebagai setangkai bunga.
”Apa kau sudah siap untuk mati?”
Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Seorang laki-laki tua berdiri di sana, menatapku. Dia berpakaian biasa: celana kain dan kaus. Layaknya orang tua, badannya renta dan sedikit bungkuk. Namun, rambutnya masih lebat seperti anak muda walaupun telah putih seutuhnya.
”Apa kau sudah siap untuk mati?” lanjutnya dengan suara yang redup, namun menggema. Aku diam. Masih ragu dengannya. Apakah dia manusia?
”Siapa kau?”
”Hanya orang tua yang tinggal dekat sini, rumahku berada persis di sisi seberang jalan dekat dari titik di mana kita berdiri sekarang,” jawabnya, ”itu! kau bisa melihat rumahku di sana,” ia menunjuk ke sisi jalan di seberang kami. Benar, memang ada rumah kecil di sana, tersamar oleh rerimbun pepohonan.
”Terima kasih! kau tak perlu ikut campur dengan urusanku.” aku tahu ia ingin mengulur-ulur waktu untuk kemudian menyelamatkanku.
”Oh, jangan salah sangka. Aku tidak ingin ikut campur. Bukankah aku juga tinggal menunggu mati? Oleh karena itu, aku bertanya padamu, apakah kau sudah siap?”
”Lalu, apakah Kakek siap?” tanyaku agak geram.
Dia hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. Ia menoleh ke rumahnya sebentar, lalu kembali menatapku yang selangkah lagi dari bibir tebing.
”Sebelum kau mengakhiri hidupmu, maukah menemaniku minum teh.... Tempat ini begitu sepi sehingga sangat jarang aku bertemu orang lain. Bertemu dengan anak muda sepertimu membuatku melupakan sejenak ketuaanku, hahaha,” ia tertawa lepas, sepertinya tak punya beban, ”maukah kau menuruti permintaan orang tua ini sebelum kau mati?” Biasanya juga orang yang mau mati yang punya permintaan, pikirku.
Aku memperhatikannya. Garis-garis wajahnya tampak keriput, warna matanya mulai buram, dan gigi-giginya tak lagi kokoh. Ia membuatku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku masih kesal karena momen bunuh-diriku yang hilang karena kehadirannya.
Sialan! Ternyata aku tidak bisa menolak permintaan orang tua ini. Sudah kucoba untuk mengabaikannya supaya bisa segera menunaikan niatku. Tapi, tenagaku tiba-tiba hilang, luntur, merembes ke pori-pori tanah.
Aku melangkah mendekatinya. Mungkin aku penasaran dengannya yang tinggal di tempat terpencil begini. Penasaran dengan keluarganya, pekerjaannya, dan teh yang ia tawarkan itu (apakah cukup spesial hingga ia ingin aku mencicipinya?).
***
RUMAHNYA tak besar. Namun, pekarangannya sangat indah. Banyak tanaman bunga yang tersusun rapi di sana. Dan pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitarnya, seperti melingkari rumahnya (dengan meninggalkan celah bagi jalan keluar). Aku teringat bangunan batu misterius di inggris dari zaman Neolitikum: Stonehenge.
Terdapat sebuah meja kayu yang cukup panjang di area pekarangan dan beberapa kursi melingkarinya. Meja itu berposisi tegak lurus dengan jalan aspal, dari tempat duduk itu tampak jelas tebing yang hampir kupilih sebagai pelunas umurku. Ia masuk ke rumahnya. Nyaris tidak ada yang menarik dari rumah ini, kecuali kenyataan bahwa kondisinya yang tampak kokoh, rapi, seakan baru dibangun kemarin.
Ia kembali membawa seteko air panas dan cangkir-cangkir kaca. Pertama-tama ia menuangkan air ke dalam cangkir. Kemudian ia mengambil daun-daun kering yang berbentuk bola-bola. Dicelupkannya bulatan daun itu ke dalam cangkir. Untuk beberapa lama, bola-bola itu tetap melayang di dalam cangkir dan warna air pun hanya sedikit berubah, tak seperti teh yang segera merubah warna air ketika dicelupkan. Ia masih tetap bening, hanya sedikit menguning. Namun, hal yang aneh—cenderung mengagumkan—terjadi dalam cangkir teh dari kaca bening itu. Bulatan daun itu perlahan-lahan mekar menjadi bunga-bunga yang elok dipandang mata. Aku tercengang melihat sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya.
”Setiap pagi aku selalu duduk disini, melihat ke tebing itu. Kalau saja ada orang yang sepertinya ingin melompat dari sana.” Aku menyimak kata-katanya. Dari awal aku sudah tahu jika tujuannya adalah menyelamatkanku. Tapi, aku penasaran dengan usahanya. Jika tak berhasil, aku tetap akan melompat dari tebing itu.
”Jadi, Kakek selalu menyelamatkan mereka? Memangnya, sudah berapa orang yang sudah kakek selamatkan?” tanyaku, sinis.
”Ya, aku selalu berusaha, tapi tidak semua berhasil aku nasehati. Pernah ada seorang gadis muda yang berhasil kuajak bicara. Katanya, ia ingin mengakhiri hidupnya karena malu setelah menjadi korban pemerkosaan. Ah, sampai sekarang aku masih menyesalkan kejadian yang menimpa gadis itu,” matanya menerawang ke arah tebing, ”tiba-tiba saja ia meminta maaf, lalu berlari ke arah tebing.” Aku bisa merasakan kekecewaannya pada diri sendiri.
Ia mengajakku mencicipi ’teh-bunganya’. Rasanya tidak jauh berbeda dengan teh biasa, hanya aroma bunga yang kuat memberi sensasi yang lain. Aku dihampiri perasaan tenang yang begitu dalam, begitu nyaman. Semua kenangan indah tiba-tiba menelusup dalam benakku. Ketika aku juara kelas, ketika Ibu memelukku, ketika menikah, punya anak. Nyaris semua hal yang indah saja yang mampu kuingat.
”Kehidupan bukanlah milik kita, Nak. Tapi kita harus bertanggung jawab terhadapnya. Jika hidupmu adalah milikmu dan orang lain pun berpikir begitu, maka kehidupan tidak akan bertahan lama. Kehidupan sejati akan mati.”
”Aku sudah tua, kapan pun ajal menjemput, tak akan kuhindari. Tapi aku tak mau mendahului ajal. Aku percaya bahwa hidupku ini masih bermanfaat untuk makhluk lain, makhluk ciptaan Tuhan yang sama sepertiku. Lihatlah bunga dalam cangkirmu itu. Bahkan ketika sudah mati pun ia masih bisa membahagiakan kita yang melihatnya. Bunga-bunga itu pasti sedang bersuka-cita, karena mampu bermanfaat untuk kita.”
Ia mengenalkanku pada Tuhannya. Awalnya ia terkejut karena aku seorang ateis, namun itu tak berlangsung lama. Aku sangat tertarik ketika ia menjelaskan agamanya. Baginya, agama adalah lentera yang menerangi jalan. Tanpa agama, ia tidak mampu melihat dunia secara utuh, bagaikan orang yang terdampar di hutan, tengah malam, tanpa penerangan.
Senja mulai merapat. Kami berdua masih bercengkerama, menelaah arti kehidupan. Aku merasa menemukan sosok ayahku yang hilang dari kakek itu. Betapa ketulusannya membuatku malu dengan diriku sendiri. Tanpa aku sadari, aku sudah terbawa oleh nuansa hangat yang ia berikan.
”Kau tentu heran dengan meja panjang ini, ’kan?” Ia menggeser cangkir tehnya, mengusap-usap meja kayu kamper yang panjangnya sekitar tiga meter.
”Buat apa aku menggunakannya, sementara tak ada banyak penduduk yang bertandang kesini,” ia mengetahui keingintahuanku. Katanya, setiap hari raya agamanya dan hari-hari libur, biasanya akan ada orang-orang yang berkunjung. Tak jarang mereka datang bersamaan. Mereka adalah anak-anaknya, dan orang-orang yang pernah ia selamatkan dari percobaan bunuh diri. Termasuk pengirim teh bunga itu. Ia melirikku, lalu dengan mantap ia mengundangku untuk ikut serta. Bulan depan adalah hari rayanya, Iduladha. Akan diperkenalkannya aku dengan mereka.
”Tuhan selalu ada di hatimu. Selalu ada. Bahkan ketika kamu tidak mengingatnya, Dia semakin merapatkan cinta-Nya kepadamu. Pejamkan matamu ketika jiwamu rapuh, dan Dia akan memelukmu. Dapatkah kau merasakannya seperti yang aku rasakan?” Ia memejamkan mata.
Aku mengikuti apa yang dilakukannya. Kupejamkan mata. Lama. Kuembus-isapkan napas. Kusebut nama-Nya. Hingga muncul perasaan yang hangat sekali. Seolah tumbuh sayap di pundakku, aku terbang menyongsong mentari.
Hujan merintik lagi, mengaburkan airmataku yang tumpah. (*)