Jika Aku Pergi Nanti
“ Apa sih mau kamu? Pagi – pagi gini udah ngajak berantem!”
Itulah kalimat pertama yang kudapat pagi ini ketika aku memasuki pintu kelas 2 IPA 1, pintu kelasku. Untungnya kata- kata itu bukan ditujukan padaku, walaupun suara gadis yang berteriak itu adalah suara yang sangat kukenal.
“ Gak usah geer deh! Siapa juga yang mau ngajak kamu berantem. Saya cuma gak suka ngeliat cewek yang blagu karena dapat nilai ulangan bagus. Padahal nilai bagusnya pun gak lebih dari sekedar keberuntungan” jawab seorang lelaki dengan sinis.
“ Makasih ya udah ngingetin,” jawab gadis itu dengan nada mengejek. “ Tapi maaf aja ya. Mau nilai aku bagus kek, jelek kek, aku rasa itu bukan urusan kamu. Dan kalau emang kamu gak suka dikalahin sama aku, buktiin! Jangan cuma ngomong doank.”
Rupanya perkataan gadis itu semakin memicu amarah lelaki di hadapannya. Sang lelaki terlihat sudah hampir meledak, menahan kesalnya. Dan seketika itu pula aku sadar, sudah waktunya aku bertindak. Bukan saatnya lagi aku berdiri mematung di depan pintu dan hanya menyaksikan pertengkaran itu. Lelaki itu bisa saja membahayakan sahabatku dengan amarahnya, dan aku gak boleh membiarkannya
“ Ada apa sih kalian ini? “tanyaku sambil melangkah masuk dan berdiri di antara kedua kubu yang berseteru.
Melihat kedatanganku, lelaki itu malah terlihat semakin kesal. Untungnya dia tidak melakukan apa – apa pada kami dan malah melangkah pergi walaupun sambil menggeram kesal.
“Kenapa lagi sih? “ tanyaku kepada gadis yang tadi terlibat pertengkaran itu. “ Kalian gak bosen apa berantem terus tiap pagi? Aku aja bosen liatnya.”
“Huh!” Sahabatku itu, Dinda, menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku. “ Gak tau deh Sit. Aku juga capek tiap hari berantem terus sama dia. Tapi emang dia nya yang bikin aku kesel. Kayaknya gak ada hari tanpa dia ngeintimidasi aku. Aku tahu dia gak suka kalau dia dikalahin orang lain, tapi kan wajar kalau aku juga mau dapat nilai bagus. Enak aja aku disuruh ngalah demi dia. Lagian yang dapet nilai lebih gede dari dia tuh bukan cuma aku. Tapi kenapa coba dia marah-marahnya sama aku doank? Dia benci kali ya sama aku?”
Aku terdiam, tidak mampu berkomentar apapun. Entah kenapa saat itu aku bener – bener gak tahu harus ngomong apa. Aku tahu persis itu bukan salah Dinda, bagaimanapun lelaki yang bernama Arya itu yang memang selalu mencari masalah duluan. Dulu aku sempat berpikir, Arya hanya berusaha menarik perhatian Dinda seperti yang biasa dilakukan para lelaki di film korea kepada gadis yang disukainya, tapi entah kenapa belakangan ini aku merasa bukan itu alasannya. Sorot mata Arya setiap mereka bertengkar seakan memendam kebencian yang besar pada Dinda.
“ Pagi Cantik!” Tiba – tiba ada suara lelaki yang muncul dari belakang kami.
Aku tersentak kaget dan langsung menatap si sumber suara itu. Dennis, pacarnya Dinda. Kalau Dennis sudah datang, berarti sudah saatnya aku untuk pergi.
“ Sit! Kamu udah sarapan belum? Kalau belum mending ke kantin aja sekarang. Mumpung belum masuk,” kata Dennis dengan nada sok – sok perhatian, padahal aku tau persis kata – katanya itu sebenarnya bermaksud mengusirku karena dia mau berduaan dengan Dinda. Aku yang cukup tahu diri memilih menyingkir dari mereka.
“ Wah Dennis tau aja. Oke aku ke kantin dulu! Din, kamu mau nitip sesuatu?” tanyaku berbasa – basi, padahal perutku sama sekali gak lapar.
“Ya ampun kamu beneran belum makan Sit? Ya udah makan dulu sana! Aku udah sarapan kok tadi pagi, jadi gak usah beliin apa-apa. Kamu aja yang makan sana! Dasar! Jangan dibiasain gak sarapan donk!” jawab Dinda dengan nada benar – benar perhatian.
“Okelah kalau begitu. Ya udah aku pergi dulu ya!” kataku sambil pergi meninggalkan mereka.
Aku kesal? Jelas. Tiap Dennis datang, dia selalu bisa mengusirku dengan halus supaya dia bisa berduaan dengan Dinda. Tapi ya sudahlah mau gimana lagi. Mungkin saat ini, Dinda memang lebih membutuhkan Dennis. Bagaimanapun, nampaknya Dennis bisa jadi tempat curhat yang lebih baik dibanding aku. Setidaknya dia gak seperti aku yang selalu lebih banyak diam, gak mampu banyak berkomentar saat mendengar curhatan Dinda. Dia pasti bisa menenangkan dan menghibur Dinda. Lagipula walaupun Dennis sering melakukan tipu muslihat untuk mengusir aku, seenggaknya aku tahu dia teramat sayang pada Dinda, dan kalau itu bisa membuat Dinda bahagia, itu udah lebih dari cukup untukku
“Nyut!!”
Tiba – tiba perasaan tidak enak yang belakangan ini sering menghantuiku, muncul kembali. Ada apa sih? Tanyaku dalam hati. Tapi akhirnya aku memilih untuk melakukan yang selalu kulakukan selama ini ketika perasaan tidak enak itu menyergapku, berpura – pura gak tahu dan berpura – pura semua baik – baik saja.
* * * *
Perasaanku pagi ini ketika tiba di sekolah benar – benar tidak enak. Semalam aku bermimpi buruk. Dalam mimpi itu, tiba – tiba aku dipertemukan dengan saudara – saudaraku yang telah meninggal. Belum lagi supir yang angkotnya tadi pagi kunaiki benar – benar seperti kesetanan. Gak terhitung lagi berapa kali angkot itu hampir menabrak kendaraan lain selama perjalanan. Walaupun pada akhirnya sekarang ini aku berhasil sampai di sekolah dalam keadaan selamat, tapi entah kenapa perasaanku tetap saja belum membaik.
Ketika kumasuki kelasku, suasana terasa hening. Tidak seperti biasanya, tidak terdengar suara pertengkaran apapun pagi ini. Arya, salah satu tokoh pertengkaran pagi hari khas 2 IPA 1 pun tidak terdengar suaranya. Dia sedang duduk manis di bangkunya dan membolak – balik sebuah buku paket. Akhirnya kusadari satu – satunya alasan keheningan ini adalah karena tokoh pertengkaran yang satu lagi, yaitu Dinda, belum hadir di kelas ini. Mungkin dia telat bangun.
Tapi hingga bel masuk hampir berbunyi, Dinda gak kunjung datang. Bahkan ketika guru fisika kami, Pak Bachtiar sudah masuk ke dalam kelas dan mulai mengajar, Dinda tetap belum terlihat batang hidungnya. Saat itu aku benar – benar khawatir. Walau sesekali Dinda pernah datang ke sekolah menjelang bel, tapi Dinda gak pernah datang setelah guru masuk. Berarti kemungkinan besar dia memang gak masuk sekolah hari ini. Tapi kenapa ya?Apa dia sakit? Tapi kok gak ngabarin aku?
“Nis!” bisikku pada lelaki yang duduk di belakang bangkuku. Lelaki yang aku pikir seharusnya tahu keberadaaan Dinda. “ Dinda kemana sih? Kok jam segini belum dateng?”
“Kok kamu nanya aku sih? Kamu kan sahabatnya,” jawab lelaki itu tanpa sama sekali menatap ke arahku. Matanya begitu fokus menatap catatan guru di white board. Aku benar – benar salut, dia bisa tetap fokus belajar sementara pacarnya gak tahu gimana kabarnya sekarang.
“Dia gak bilang apa – apa sama aku. Apa dia bilang sesuatu sama kamu?” tanyaku lagi. Walau terlihat agak sedikit diacuhkan aku tetap berusaha bersabar, aku harus mendapatkan informasi tentang Dinda supaya aku bisa tenang dan bisa fokus pada pelajaran ini juga.
“ Kamu tuh ganggu aja ya! Gak liat aku lagi belajar? Udah deh Dinda tuh bukan anak SD. Paling juga dia bolos!” jawab Dennis asal . Aku tahu pasti Dinda bukan orang yang suka bolos, dan seharusnya Dennis juga tahu itu. Mungkin dia hanya ingin cepat – cepat mengakhiri pembicaraan, dan aku memilih untuk mengikuti keinginanya.
Tiba – tiba pintu kelas diketuk dan masuklah salah seorang petugas tata usaha. Bapak TU itu membisikan sesuatu kepada guru fisikaku, dan tak lama kemudian guruku sudah berhenti menulis dan berdiri ditengah-tengah kelas.
“ Anak – anak mohon perhatiannya sebentar. Ada berita duka, teman kalian Dinda Putria pagi tadi mengalami kecelakaan ketika dalam perjalanan ke sini. Berdasarkan kabar dari Ibunya, sekarang Dinda sedang berada di RS Kuncup dalam keadaan kritis. Bagi kalian yang mau menjenguk, kalian bisa pergi setelah pulang sekolah. Untuk sekarang ini silahkan berdoa masing – masing, dan kita lanjutkan pelajaran.”
Dan seketika itu juga tubuhku terasa sangat lemas. Inilah jawaban dari perasaan tidak enakku belakangan ini. Bukan tentang aku, tapi menyangkut sahabatku. Keadaannya kritis, tapi aku harus menunggu pulang sekolah untuk menjenguknya? Yang benar saja. Ingin rasanya aku ke depan kelas dan memohon kepada Pak Bachtiar untuk mengizinkanku pergi.
Rupanya niatku sudah ada yang mendahului. Tiba – tiba seorang lelaki maju ke depan dan terlihat melobby Pak Bachtiar. Mereka sempat terlihat berdebat alot, namun akhirnya kekukuhan lelaki itu meluluhkan hati Pak Bachtiar.
“ Baiklah. Karena keadaan Dinda sedang kritis, jadi Bapak izinkan kalian untuk menjenguk dia sekarang. Jika kalian semua mau menjenguk sekarang, pelajaran hari ini saya batalkan. Tapi jika hanya beberapa orang, pelajaran akan tetap saya lanjutkan, dan berarti orang yang menjenguk sekarang akan kehilangan pelajaran. Jadi berapa orang yang mau ikut menjenguk sekarang bersama Arya?”
Aku segera mengacungkan tangan. Aku benar – benar gak mau melewatkan kesempatan ini. Kulirik lelaki yang duduk di belakangku. Dia tak mengacungkan tangannya, bahkan dia terlihat tak acuh, masih sibuk menyalin catatan dari papan tulis.
“Kamu gak akan jenguk Dinda?” bisikku pada Dennis.
“Ini kan waktunya belajar. Dinda pasti ngerti kok, kalau aku gak bisa dateng. Dia tau kok kalau prioritas utama aku itu pelajaran,” jawabnya enteng, seakan tanpa dosa.
Aku sudah bersiap akan marah, ketika tiba – tiba sebuah panggilan menyadarkanku.
“Ayo Sitha! Kita pergi,” panggil Arya tak sabar. Dia sudah bersiap berlari meninggalkan kelas.
Kami pun berlari sekencang – kencangnya menuju tempat parkir. Kami menaiki motornya, dan dia mengendarainya dengan amat kencang pula. Kami gak perlu bicara apa – apa, kami sama- sama tahu kami gak punya banyak waktu.
* * * *
Tiba di rumah sakit, kami melihat Dinda terbaring lemah dengan berbagai peralatan kedokteran terpasang di tubuhnya. Ibunya, yang sedari tadi menungguinya, terlihat begitu histeris ketika melihat kedatanganku. Aku berusaha menghiburnya, walaupun tak banyak kata – kata yang bisa kuucapkan. Justru Arya yang banyak memberikan kata – kata penyemangat sehingga Ibunya Dinda terlihat lebih tenang. Arya pula yang menyarankan agar Ibunya Dinda shalat dhuha dan banyak berdoa. Ibunya Dinda menurut dan meninggalkan kami bertiga di dalam kamar rumah sakit.
Kutatap badan lemah itu. Kuelus tangannya yang dingin dan tanpa sadar air mataku menetes. Tanpa sengaja kulirik lelaki yang sedari tadi bersamaku. Dia menatap Dinda penuh haru, sambil bibirnya tak henti mengucap doa. Walau tanpa air mata, aku tahu dia begitu terpukul, begitu khawatir, dan begitu berharap Dinda akan baik – baik saja.
Tak lama berselang, beberapa menit setelah Ibunya Dinda kembali dari mushola, keadaan Dinda bertambah kritis. Dokter menyuruh kami keluar untuk memberinya keleluasaan untuk memeriksa. Kami menunggu dengan penuh kekhawatiran. Tak lama dokter itu pun keluar, tapi mukanya terlihat menyesal dan dia meminta maaf kepada kami.
Kami semua terpukul. Aku menangis meraung – raung. Arya terdiam dan terpaku di tempatnya berdiri. Sementara Ibunya Dinda menangis tapi terlihat begitu ikhlas, mungkin itu efek dari shalat dhuhanya. Walaupun begitu, apapun ekspresi kami, Dinda Putria sudah meninggalkan kami dan gak mungkin kembali lagi.
* * * *
Kamu tau Din? Hidup ini benar – benar panggung sandiwara. Kamu gak akan pernah tahu siapa yang benar – benar menyayangimu dan siapa yang sebenarnya membencimu. Kamu inget Arya kan? Lelaki yang selalu ngajak kamu berantem sampai kamu begitu yakin dia membenci kamu. Ternyata justru dia orang yang sangat sayang sama kamu. Waktu kamu kecelakaan, dia orang yang terlihat begitu khawatir dan begitu ngotot untuk menjenguk kamu. Sementara pacarmu yang dulu kupikir begitu menyayangi kamu, ternyata dia gak lebih dari seorang maniak belajar yang gak punya hati, yang gak tahu artinya menyayangi orang lain.
Aku sedih kenapa kenyataan ini harus terbongkar justru setelah kamu gak ada. Atau mungkin kenyataan ini memang harus terbongkar setelah kamu gak ada. Kenyataan kalau sebenarnya Arya menyukai kamu, tapi memilih untuk menutupi rasa sayangnya dengan kebencian karena dia gak mau mengganggu hubungan kamu dengan pacar kamu, dan kenyataan kalau beberapa hari setelah kamu meninggal justru pacar kamu, Si Dennis itu, malah pedekate sama cewek lain setelah kepergian kamu.
Tapi aku harus mengucapkan terima kasih sama kamu Din, karena kepergian kamu mengajarkan aku sesuatu. Mungkin nanti kalau aku menyusul kamu, kenyataan – kenyataan semacam ini dalam hidupku juga akan terbongkar. Ternyata orang yang kupikir menyayangiku, gak sesayang itu padaku dan orang yang kupikir membenciku, ternyata gak sebenci itu, malah mungkin menyayangiku.
Karena kita manusia gak tahu apa – apa, Dia lah yang Maha Tahu dan Dia juga yang berhak menentukan untuk memberikan pengetahuan itu kepada kita/ tidak. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, soal aku menyayangimu itu nyata. Karena kamu adalah sahabat terbaikku, Dinda Putria.
Sitha Mega Pratama.
Kututup suratku untuk sahabatku. Kubuat kertas itu menjadi bentuk kapal – kapalan, lalu kuterbangkan ke langit. Aku tahu Dinda gak akan bisa membacanya, tapi aku berharap surat itu akan dibaca oleh seseorang di luar sana. Seseorang yang begitu menyayangi orang yang menyayanginya dan terlalu membenci orang yang membencinya.