Sore. Matahari separoh jingga di sudut Barat. Langit memerah, cerah dan luas. Awan membentuk garis, melaju pelan menutup sebagian lingkar matahari. Sementara di sudut lain, beberapa burung terbang rendah, ber-koak seolah memberitahukan bahwa sebentar lagi gelap.
Jalanan mulai padat. Tapi tidak terlalu ramai. Di dekat trotoar aku berdiri, hanya beberapa meter dari perempatan jalan, mendengar suara-suara bising, mencium aroma khas polusi, serta melihat kendaraan yang (ketika lampu menyala hijau) langsung tancap gas dan melesat, seperti seekor kucing mengejar tikus. Cepat sekali. Dan aku hanya mematung, seraya mengamati sekitar.
“Kau lihat mereka?” aku bertanya kepada orang disampingku.
Kulihat beberapa orang di seberang jalan. Sepasang kekasih belia bergandengan tangan sambil berjalan pelan melewati ----- melewati seorang kakek yang duduk di sebuah bangku, di sampingnya seorang nenek bersandar di pundak sang kakek. Mereka tampak mesra.
“Lalu yang itu…?” tanyaku sambil menunjuk ke arah lain.
Apa itu? Bahkan anak-anak muda labil sudah mulai berani suap-suapan dengan pacarnya di depan umum. Aku melihat si gadis menyodorkan sendok berisi nasi, dan si bujang membuka mulutnya lebar-lebar, ketika sendok sudah dekat dengan mulut si bujang, si gadis berubah pikiran dan memasukkan sendok berisi nasi ke mulutnya sendiri. Si bujang bukannya marah malah tertawa sambil membelai rambut si gadis. Dan mereka kembali suap-suapan.
Aku tersenyum, aku pernah merasakan yang seperti itu. Dulu… ketika masih SMA. “Kau ingat? Dulu saat pertama kali aku bertemu denganmu di SMA. Aku melihat perangai yang menenangkan. Melihatmu duduk, berlari dan melamun. Mendengarmu bicara, tertawa, atapun hanya diam. Aku senang memperhatikan apapun tingkah lakumu.”
Kulihat lagi orang-orang itu, sejoli-sejoli yang dimabuk cinta, romantis dan penuh canda. Aku menoleh ke orang di sebelahku “Kalau kamu melihat mereka, kira-kira apa yang ada di pikiranmu?”
Tidak ada jawaban. aku hanya tersenyum, lalu menghela. “Haah… Rasanya masa-masa itu tlah lewat. Kini kamu tidak seperti dulu yang penuh tawa, tidak seperti dulu yang selalu berlari menghampiriku ketika sekolah bubar, tidak seperti dulu yang menggandeng tanganku, tidak seperti dulu yang…”
Kata-kataku habis. Entah kenapa. Dan bibirku bergetar, semua terjadi begitu cepat. Aku merasa… emm, aku rasa mataku basah, hingga tiba-tiba air keluar dan turun ke pipi. Semakin lama semakin banyak. Aku menangis di senja itu.
“Sekarang kamu tidak seperti dulu yang bercita-cita menjadi guru TK.” Aku terisak. Beberapa orang yang lewat mungkin melihat. Tapi biarlah.
“Karena kamu sudah tidak bisa apa-apa lagi. Sekarang kamu bukanlah siapa-siapa. Kamu hanya harus menunggu waktu untuk berakhirnya cerita ini… yang sepertinya akan kupercepat.”
Aku menoleh, melihat sosok di sebelahku. Sosok perempuan yang buta, tuli, bisu dan duduk di kursi roda karena lumpuh. Beberapa bulan lalu perempuan ini berjalan lemas di rumah sakit, sambil menahan sakit yang ia derita, hingga tak sadar lalu terjatuh dari tangga lantai dua rumah sakit. Kedua kakinya menjadi lumpuh, dan tulang lengan kanannya remuk sampai harus diamputasi. Penyakitnya yang semakin parah membuat perempuan ini buta, tuli dan bisu. Seperti STROKE, tapi entah aku tidak tahu apa penyakitnya.
“Akan kupercepat. Sebab aku tahu, hidup atau mati sudah bukan pilihan bagimu. Kamu buta, tuli, bisu, lumpuh… ketika hidup. Dan kamu juga tetap buta, tuli, bisu dan lumpuh ketika mati. Sama saja bukan?”
……….
Aku masih berdiri di senja yang mulai biru. “Sebentar lagi… sebentar lagi lampunya akan hijau.”
Tidak lama kemudian dari arah sana, beberapa mobil dan motor yang mulanya berhenti mulai bergerak dan tancap gas. Melesat seperti sambaran kucing.
“Sudah hijau… kan sayang?”
Maka kugenggam erat gagang kursi roda, lalu aku berlari menyeberang jalan sambil mendorong kursi roda. Tepat di tengah jalan aku berhenti, kulihat sekilas perempuan yang ada di kursi roda itu. Aku terkejut, ketika melihat setetes air keluar dari sudut matanya.
“Kau mendengarku?”
TIIINN…!!!!! Beberapa kendaraan yang melaju cepat buru-buru mengklakson. Sinar lampu kendaraan itu menyentrong wajahku, membuatku silau. Dan si perempuan di kursi roda sedikit memalingkan wajahnya seakan ikut silau oleh lampu kendaraan. Aku makin terkejut.
Aku merasakan sesuatu yang menghantam tubuhku dengan keras hingga membuatku terlempar jauh. Sejenak masih kudengar sayup suara orang berteriak.
Dan akhirnya semua menjadi gelap.